04 Januari 2009

JEJAK SUDIRMAN YANG TERJUAL



Bangsa Indonesia tentu tidak dapat melupakan sikap heroik-pratiotik Pangliman Besar Jenderal Sudirman dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dengan segala kelemahan fisik yang diderita, Pak Dirman melancarkan perang gerilya untuk membuktikan bahwa TNI masih eksis dan perlawanan rakyat semesta yang digalangnya adalah bukti nyata bahwa Indonesia merdeka adalah cita-cita bersama seluruh rakyat Indonesia. Di tengah kondisi sulit karena semua pimpinan negara ditangkap oleh Belanda dan Ibukota Indonesia (Yogyakarta) waktu itu sudah dikuasai Belanda, Pak Dirman pantang surut langkah untuk terus melakukan perlawanan nyata terhadap Belanda.


Jenderal Besar ini dilahirkan pada tanggal 24 Januari 1916 di Bodas Karangjati Purbalingga dari pasangan Karsid Kartowirodji yang merupakan seorang pekerja di Pabrik Gula Kalibagor, dan Siyem istrinya yang merupakan keturunan Wedana Rembang. Sejak usia 8 bulan Soedirman kecil diangkat anak oleh R. Tjokrosoenaryo, yang masih merupakan saudara Siyem.

Pada tahun 1923-1930 Pak Dirman menerima pendidikan dasar di sekolah HIS di Cilacap, kemudian dilanjutkan ke sekolah MULO Taman Siswa, dan setahun kemudian pindah ke Perguruan Parama Wiworotomo dan pada tahun 1935 melanjutkan pendidikan ke sekolah HIK (sekolah Guru) Muhammadiyah di Solo meskipun tidak sampai tamat. Setelah itu Pak Dirman diangkat sebagai Kepala SD Muhammadiyah di Cilacap.

Sejak muda Sudirman memang seorang yang berkepribadian teguh dan memegang kuat prinsip dan keyakinannya. Pernah suatu kali dalam sebuah kegiatan Perkemahan Hisbul Wathon di pegunungan Dieng, karena malam yang begitu dingin sampai menusuk tulang, banyak dari rekan beliau meninggalkan perkemahan. Namun tidak dengan Sudirman muda, karena sebagai pemimpin kepanduan maka Sudirman bertahan pada malam itu sampai esok paginya

Karir militer Pak Dirman dimulai saat Jepang masuk ke Indonesia. Pak Dirman mengikuti pelatihan perwira tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor. Kemudian diangkat menjadi Kepala Batalyon di Banyumas. Saat memegang jabatan itu Pak Dirman seringkali memprotes tindakan tentara Jepang yang seringkali berbuat sewenang-wenang dan kasar terhadap anak buahnya. Karena sikapnya itu, pernah suatu kali dia hampir dibunuh oleh tentara Jepang.

Jasa pertamanya sebagai tentara pasca kemerdekaan Indonesia adalah berhasil merebut senjata Jepang tanpa pertumpahan darah di Banyumas. Ini berkat kearifan Pak Dirman dalam berunding. Selain itu beliau juga memberikan jaminan perlindungan kepada bekas tentara Jepang yang menunggu untuk kembali ke negaranya. Setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibentuk, Pak Dirman diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Kemudian melalui Konferensi TKR tanggal 26 Nopember 1945, ia terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 18 Desember 1945, pangkat Jenderal diberikan padanya lewat pelantikan Presiden.

Pada tanggal 26 November 1945 saat menunggu masa pelantikannya sebagai Panglima, Pak Dirman menghadapi serbuan tentara Inggris yang diboncengi Belanda dari Semarang. Beliau memimpin pasukan dan balik melawan Tentara Inggris yang waktu itu sudah menduduki Kota Ambarawa. Serangan umum ke Ambarawa pun dilakukan serentak di semua sektor, menjelang fajar 12 Desember 1945. Komando penyerangan disampaikan dengan isyarat tembakan pistol.

Baru pada tanggal 15 Desember 1945, pasukan Indonesia berhasil merebut Ambarawa dari tangan sekutu. Hal itu tentu tidak lepas dari koordinasi rapi antarkomandan sektor, dan juga tidak ketinggalan siasat jitu rancangan Panglima Sudirman dari Magelang. Pertempuran yang bersejarah ini sering kita kenal sebagai Palagan Ambarawa.

Saat Agresi Militer II dilancarkan Belanda di Yogya tanggal 18 September 1948, Jenderal Sudirman yang saat itu di Yogya sedang sakit. Keadaannya sangat lemah karena paru-parunya hanya tinggal satu yang berfungsi. Namun hal itu tidak membuat langkahnya surut. Meskipun Yogya sudah dikuasai Belanda dan meskipun Presiden Soekarno, sebelum ditawan Belanda, sudah menganjurkannya untuk tetap tinggal dalam kota untuk menjalani perawatan namun anjuran itu tidak bisa dipenuhinya karena dorongan hatinya untuk melakukan perlawanan pada Belanda serta mengingat akan tanggungjawabnya sebagai pemimpin tentara.

Jenderal besar kita ini langsung bertolak ke Kediri. Dari kota itulah perlawanan akan diatur. Dengan kawalan pasukan kecil dan tanpa bekal uang dari pemerintah, rombongan Jenderal Soedirman tiba di Kediri tanggal 23 Desember 1948, setelah melalui Grogol, Wonogiri, Jetis (Ponorogo), dan Bendo (Trenggalek),”

Bersama Komandan Divisi I Jawa Timur, Kolonel Soengkono, ia membicarakan situasi militer dan rencana pertahanan melawan serbuan Belanda dengan perang gerilya. Pada 25 Desember 1948, Sudirman meninggalkan Kota Kediri. Beberapa jam kemudian, kota ini diserang dan diduduki tentara Belanda. Sepertinya mata-mata Belanda mengetahui Jenderal Sudirman berada di Kediri. Tetapi ketika tentara Belanda dikerahkan masuk kota, Jenderal Sudirman sudah berada di lereng Gunung Wilis.

Usaha menghabisi Panglima juga terjadi desa Karangnongko (10 km barat Kota Kediri). Ketika rombongan sedang beristirahat di desa itu, datanglah seseorang tak dikenal mencari Jenderal Sudirman. Karena curiga, Sudirman dan Kolonel Bambang Soepeno meninggalkan rumah penginapan pada pukul 05.00, dan masuk ke dalam hutan dengan berjalan kaki.

Setelah fajar menyingsing, Letnan Heru Keser, pengawal yang masih tinggal di rumah penginapan, menyamar menjadi Sudirman. Kemudian dengan disaksikan orang banyak, "Sudirman" gadungan ini ditandu ke luar rumah menuju selatan dan berhenti di sebuah rumah untuk menginap. Kemudian dengan diam-diam Letnan Heru Keser, sudah berganti pakaian, meninggalkan rumah itu bersama Kapten Soepardjo. Sorenya, rumah itu diserang habis-habisan oleh tiga pesawat pemburu Belanda yang memuntahkan peluru senapan mesinnya secara bergantian.

Sudah berkali-kali percobaan pembunuhan dilakukan kepada Jenderal Besar kita yang satu ini. Namun Tuhan masih mentakdirkannya untuk hidup dan terus melawan Belanda. Tanggal 31 Maret 1949, rombongan Panglima tiba di Dukuh Sobo. Karena daerah itu jarang dikenal maka daerah itu menjadi tempat yang paling ideal untuk memimpin perang gerilya.

Setelah ditandatanginya perjanjian Roem-Royen. Maka usai sudah perang antara Republik Indonesia dan Belanda. Panglima Sudirman memasuki kota Yogya lagi dari desa Ponjong tanggal 9 Juli 1949, setelah berfoto bersama dengan pembawa tandu terakhir yang dipakai menyeberangi Kali Opak dekat Piyungan.

Tanggal 27 Desember 1949, pemerintah Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia. Sayang, Jenderal Sudirman tidak dapat menyaksikan hasil perjuangannya lebih lanjut. TBC yang semakin menggerogoti paru-parunya selama berbulan-bulan masuk keluar hutan akhirnya mengalahkan dia. Pada 29 Januari 1950, Pak Dirman meninggal dunia di Rumah Peristirahatan Tentara Badakan, Magelang. Pahlawan Kemerdekaan Nasional ini dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.

Begitu gigih dan tanpa pamrih Pak Dirman mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dalam kondisi sakit parah Pak Dirman berangkat ke Kediri berjalan kaki menyusuri medan yang berat hanya untuk mengatur strategi perang gerilya dari Kediri. Ada sebuah rumah di Kediri yang menjadi saksi bisu sejarah pengaturan startegi perang gerilya untuk membuktikan eksistensi Indonesia merdeka. Rumah itu terletak di Jl. MH. Thamrin No. 45 Kediri. Rumah kuno tersebut selain untuk merundingkan strategi perang gerilya juga digunakan Pak Dirman menginap selama di Kediri.

Dulu saat gerak jalan tradisional Napak Tilas Rute Gerilya Pangsar Sudirman Kediri - Bajulan aktif digelar, biasanya rumah tersebut selalu dilewati rombongan peserta. Saya kebetulan pernah tiga kali ikut gerak jalan ini sekitar awal-awal tahun 80-an, suasana begitu heroik, ada semangat nasionalisme yang membara di dada. Sambil menyanyi lagu-lagu perjuangan dan menengok rumah yang pernah disinggahi Pak Dirman serasa melihat Pak Dirman tersenyum, bangga.

Namun sayang, rumah tersebut telah dijual oleh ahli waris pemiliknya sekitar tahun 2003. Kemudian rumah tersebut berubah fungsi menjadi kantor distributor tepung. Saya tidak tahu apakah perabotan yang digunakan Pak Dirman selama singgah di rumah itu untuk mengatur strategi perang gerilya masih ada atau sudah tercerai berai. Saat isu mulai merebak soal penjualan rumah tersebut, banyak kalangan masyarakat yang mendorong Pemkot Kediri untuk membelinya. Namun karena alasan keuangan yang tidak teranggarkan akhirnya rumah tersebut dibeli seorang pengusaha dan telah berubah fungsi. Padahal saat itu anggaran untuk Persik saja sudah mencapai puluhan milyar rupiah, jauh diatas harga rumah jejak Sudirman di Kediri.

Saya sendiri tidak paham dengan "mindset" pemerintah daerah di berbagai daerah yang begitu tidak peduli dengan hal-hal yang berkaitan dengan sejarah dan kebudayaan. Rumah jejak Sudirman di Kediri bisa menjadi contoh tidak pedulinya pemerintah daerah terhadap rumah bersejarah yang ikut membentuk eksistensi Indonesia. Kepentingan-kepentingan yang bersifat bisnis dan ekonomi sering kali mengalahkan kepentingan-kepentingan yang lebih dalam nilainya, termasuk sejarah dan kebudayaan. Bagaimana rasa nasionalisme bisa dikembangkan kalau pemerintah sendiri begitu gampang "menghapus" bukti-bukti sejarah yang dapat digunakan sebagai wahana memupuk nasionalisme? Mungkin Pak Dirman akan menangis "nelangsa" bila melihat hal ini.


1 komentar:

  1. Rumah jejak mbah kakung dirman sekarang ini ditempati sebagai kantor penjualan tepung Bogasari. Perlu dipahami Mindset Pemkot memang sudah pas. Dulu saat mbah kakung Dirman batuk batuk akibat loro paru paru tur kaliren, dipameri nonik anake londo sedang asyik makan roti diolesi keju. Saat itu mbah kakung Dirman sempat ngiler juga hingga gulu menjinge munggah mudun. Sehingga ia menitipkan wasiat lewat ajudannya yang bernama Bernardi, " bila nanti tuhan mengaruniai negara kita merdeka, Tempat ini jadikan pasokan bahan logistik Roti seperti yang dimakan Nonik Anake londo saat itu". Akhirnya di tahun 2001, sejarawan kota Kediri bernama Ki Warkidi membuat telaah kepada Walikota Rumah singgah itu tidak usah dibeli Pemkot. Tapi memberikan kesempatan kepada PT.Bogasari membeli rumah singgah karena sesuai dengan cita cita mbah kung Dirman kala Ngiler melihat Nonik anake Londo makan Roti diolesi keju. from Je^nggo (Jamaah cucu mbah Ronggo).

    BalasHapus