06 Januari 2009

NONTON PAK ENGGOT BERAKSI


Lelaki paruh baya itu selalu bertelanjang dada, memperlihatkan tubuhnya yang kekar dan sehat. Celana hitam kolor selutut menemaninya saat beraksi. Jenggot tipis yang tumbuh didagunya kelihatan terpaksa untuk dipelihara guna mempertahankan citranya. Di kalangan yang dibikinnya hanya dengan menggarisi tanah dengan ujung bambu kecil, terdapat sebuah batu kali sebesar dua kali kepala orang dewasa diikat dengan seutas tali rami melekat pada sebatang kayu setinggi 50 cm. Anehnya, batu yang diikat ke kayu tadi tidak roboh meski hanya diberdirikan tanpa ditanam. Selembar plastik dihamparkan untuk menaruh alat-alat atraksinya, gambar-gambar wanita yang sedikit seronok, bukusan hitam, dan tentu saja jamu ramuan yang "dasyat" kasiatnya. 

Tiba-tiba... "Dheeer", lelaki paruh baya itu berteriak sambil memukulkan alu (alat penumbuk) besi sepanjang kurang lebih 50 cm ke perutnya sendiri. Adegan ini diulang beberapa kali untuk menarik perhatian orang yang lalu lalang untuk menontonnya. Dialah Pak Enggot, bakul jamu yang menggunakan atraksi-atraksi sulap untuk memasarkan jamunya berupa butiran-butiran hitam yang dipromosikan sebagai jamu yang dapat mengobati penyakit yang diderita kaum adam : encok, pegel linu, lemah syahwat dan lainnya.

Tidak jelas siapa nama sebenarnya Pak Enggot, tapi nama itu telah menjadi trade-mark bagi dirinya. Pak Enggot seingat saya tinggal di daerah Banjaran, Jl. Halim Perdanakusuma. Dengan gayanya yang unik tak pelak banyak orang yang menunggu aksi-aksi Pak Enggot di depan lapangan Setonobetek yang waktu itu digunakan sebagai pasar sepeda atau orang Kediri lebih akrab menyebut kawasan ini sebagai PDS. Dibawah rerimbunan pohon waru yang banyak tumbuh di PDS, Pak Enggot menggelar arenanya yang selalu dijubeli oleh para penggemarnya.

Tanpa penggeras suara, suara Pak Enggot sudah membahana, dengan guyonan-guyonan yang segar dan sedikit porno dia begitu fasih menerangkan jamu mujarab bikinannya. Tapi bagi anak-anak yang ditunggu adalah atraksi-atraksi sulapnya. Bukusan hitam lalu dibukanya, ular sanca yang lumayan besar ditariknya dan dililitkan ke tubuhnya. Atraksi lalu dilanjutkan dengan memotong mentimun di perutnya dengan sebuah golok yang tajam. Permainkan sulap kartu juga menjadi andalannya, selain pamer kekebalan dari benda-benda tajam. Tapi semuanya selalu diselingi dengan iklan pariwaranya, jamu penuh khasiat bagi para lelaki.

"Dheeer" berulang kali membahana, Pak Enggot memukul-mukul perutnya dengan alu besi berulang kali tapi kali ini dia berdiri diatas batu yang diikat ke sepotong kayu tadi dan batu itu pun tetap tidak roboh. "Houdini dari Banjaran" ini lalu melemparkan alu tadi ke tanah, terdengan suara "glebuk" yang keras, dia menunjukan bahwa alu itu benar-benar berat. Lalu bicara lagi tentang jamunya yang bisa membuat pria perkasa, banyak juga para penonton yang membeli. Sambil melayani pembeli Pak Enggot terus bicara tentang kandungan jamu buatnnya. Kadang-kadang foto-foto wanita yang sedikit seronok diperlihatkan ke penonton untuk memancing "fantasi" para penonton agar membeli jamunya. 

Di hari-hari tertentu, biasanya tanggal muda atau hari minggu, Pak Enggot tampil dengan "full team" bersama anak-anaknya dan binatangnya pun bertambah. Maka atraksinya bisa lebih banyak lagi karena anak-anaknya juga ahli akrobat. Atraksi manusia karet yang begitu lentur keluar masuk tong yang sempit, atraksi kera yang pintar dan lainnya dipertontonkan. Sehingga penontonpun semakin berjubel termasuk anak-anak. Wah, tentu saja di hari-hari tertentu tersebut dagangan jamu Pak Enggot semakin laris. 

"Dheeer" suara itulah yang selalu diingat orang tentang Pak Enggot di era 80-an. Ditengah minimnya hiburan bagi anak-anak di jaman itu, kehadiran Pak Enggot menjadi sebuah hiburan yang menyegarkan dan selalu ditunggu. Hiburan yang murah meriah, karena memang gratis.